Sepotong Kisah Klasik; Mengalahkan Hujan

Source: We Heart It

Kita adalah cerita lampau yang selalu aku jaga hingga kini. Suara dan aroma hujan sore itu masih jelas tergambar di benakku. Kamu dengan sepeda tua mu yang selalu berlalu lalang di depan halaman rumah ku menjadi hal yang paling manis saat itu —hanya untuk memastikan apakah aku ada di rumah hari itu. 

Kamu selalu membawa senyum dengan suara ringan yang memanggil namaku. Sore itu, setelah aku memastikan tak ada seorangpun di rumah yang menyadari kepergian ku, aku menghambur ke arah mu. Membawa serta sebuah buku catatan kecil ku —buku yang memastikan aku tidak akan melupakan semua cerita saat bersamaan mu.

Kamu melajukan sepeda bersama aku yang memegang erat pundak mu, menuju lapangan tempat biasa. Tiba-tiba hujan mulai turun, kamu semakin mempercepat kayuhan pedal sepeda tua mu, hanya supaya kamu bisa memastikan aku dan buku ku tidak kebasahan.

Kita berkejaran dengan hujan. Saat pondok di tengah lapangan mulai terlihat, kamu semakin mempercepat laju sepeda mu. Hujan sepertinya akan kalah, kita mulai memasuki pondok saat hujan berhasil menyalip kita. Kamu menekan erat rem sepeda ditambah kaki yang menginjak erat tanah, untuk membiarkan hujan tetap melaju dan kita berhenti. 

Kita tertawa melihat kejadian itu, hujan merasa menang bisa tetap berlari sementara kita berhenti. Padahal garis finish kita dan hujan berbeda. 

Saat tawa kita semakin ringan, aku merasa seperti berada di tempat yang berbeda denganmu, aku hanya memandang dirimu yang tertawa. Aku seperti tidak menjadi bagian dari cerita sore itu. Kamu tertawa bersama ku tapi kamu terasa jauh. Saat itu juga aku sadar bahwa aku di masa kini, sementara kamu di masa lalu.

Kita menjadi potongan masa lalu yang selalu menuntut untuk jadi nyata. Satu kata yang menggambarkan segalanya, terlambat.

Comments

Popular Posts